Wednesday, February 29, 2012

Pengertian Karakter

A. PENGERTIAN KARAKTER
Menurut bahasa, karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu.1

Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran lagi karena sudah tertanam dalam pikiran, dan dengan kata lain, keduanya dapat disebut dengan kebiasaan.
B. MEKANISME PEMBENTUKAN KARAKTER
1. Unsur dalam Pembentukan Karakter
Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran karena pikiran, yang di dalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya, merupakan pelopor segalanya.2 Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang akhirnya dapat membentuk pola berpikirnya yang bisa mempengaruhi perilakunya. Jika program yang tertanam tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran universal, maka perilakunya berjalan selaras dengan hukum alam. Hasilnya, perilaku tersebut membawa ketenangan dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika program tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum universal, maka perilakunya membawa kerusakan dan menghasilkan penderitaan. Oleh karena itu, pikiran harus mendapatkan perhatian serius.
Tentang pikiran, Joseph Murphy mengatakan bahwa di dalam diri manusia terdapat satu pikiran yang memiliki ciri yang berbeda. Untuk membedakan ciri tersebut, maka istilahnya dinamakan dengan pikiran sadar (conscious mind) atau pikiran objektif dan pikiran bawah sadar (subconscious mind) atau pikiran subjektif.3 Penjelasan Adi W. Gunawan mengenai fungsi dari pikiran sadar dan bawah sadar menarik untuk dikutip.
Pikiran sadar yang secara fisik terletak di bagian korteks otak bersifat logis dan analisis dengan memiliki pengaruh sebesar 12 % dari kemampuan otak. Sedangkan pikiran bawah sadar secara fisik terletak di medulla oblongata yang sudah terbentuk ketika masih di dalam kandungan. Karena itu, ketika bayi yang dilahirkan menangis, bayi tersebut akan tenang di dekapan ibunya karena dia sudah merasa tidak asing lagi dengan detak jantung ibunya. Pikiran bawah sadar bersifat netral dan sugestif.4
Untuk memahami cara kerja pikiran, kita perlu tahu bahwa pikiran sadar (conscious) adalah pikiran objektif yang berhubungan dengan objek luar dengan menggunakan panca indra sebagai media dan sifat pikiran sadar ini adalah menalar. Sedangkan pikiran bawah sadar (subsconscious) adalah pikiran subjektif yang berisi emosi serta memori, bersifat irasional, tidak menalar, dan tidak dapat membantah. Kerja pikiran bawah sadar menjadi sangat optimal ketika kerja pikiran sadar semakin minimal.5
Pikiran sadar dan bawah sadar terus berinteraksi. Pikiran bawah sadar akan menjalankan apa yang telah dikesankan kepadanya melalui sistem kepercayaan yang lahir dari hasil kesimpulan nalar dari pikiran sadar terhadap objek luar yang diamatinya. Karena, pikiran bawah sadar akan terus mengikuti kesan dari pikiran sadar, maka pikiran sadar diibaratkan seperti nahkoda sedangkan pikiran bawah sadar diibaratkan seperti awak kapal yang siap menjalankan perintah, terlepas perintah itu benar atau salah. Di sini, pikiran sadar bisa berperan sebagai penjaga untuk melindungi pikiran bawah sadar dari pengaruh objek luar.
Kita ambil sebuah contoh. Jika media masa memberitakan bahwa Indonesia semakin terpuruk, maka berita ini dapat membuat seseorang merasa depresi karena setelah mendengar dan melihat berita tersebut, dia menalar berdasarkan kepercayaan yang dipegang seperti berikut ini, “Kalau Indonesia terpuruk, rakyat jadi terpuruk. Saya adalah rakyat Indonesia, jadi ketika Indonesia terpuruk, maka saya juga terpuruk.” Dari sini, kesan yang diperoleh dari hasil penalaran di pikiran sadar adalah kesan ketidakberdayaan yang berakibat kepada rasa putus asa. Akhirnya rasa ketidakberdayaan tersebut akan memunculkan perilaku destruktif, bahkan bisa mendorong kepada tindak kejahatan seperti pencurian dengan beralasan untuk bisa bertahan hidup. Namun, melalui pikiran sadar pula, kepercayaan tersebut dapat dirubah untuk memberikan kesan berbeda dengan menambahkan contoh kalimat berikut ini, “...tapi aku punya banyak relasi orang-orang kaya yang siap membantuku.” Nah, cara berpikir semacam ini akan memberikan kesan keberdayaan sehingga kesan ini dapat memberikan harapan dan mampu meningkatkan rasa percaya diri.
Dengan memahami cara kerja pikiran tersebut, kita memahami bahwa pengendalian pikiran menjadi sangat penting. Dengan kemampuan kita dalam mengendalikan pikiran ke arah kebaikan, kita akan mudah mendapatkan apa yang kita inginkan, yaitu kebahagiaan. Sebaliknya, jika pikiran kita lepas kendali sehingga terfokus kepada keburukan dan kejahatan, maka kita akan terus mendapatkan penderitaan-penderitaan, disadari maupun tidak.
2. Proses Pembentukan Karakter
Sebelum penulis melanjutkan pembahasan, mari kita kaji ilustrasi berikut ini.. Di dalam sebuah ruangan, terdapat seorang bayi, dan dua orang dewasa. Mereka duduk dalam posisi melingkar. Kemudian masuk satu orang lain yang membawa kotak besar berwarna putih ke arah mereka. Setelah meletakkan kotak tersebut di tengah-tengah mereka, orang tersebut langsung membuka tutupnya agar keluar isinya. Apa yang terjadi...? ternyata setelah dibuka, terlihat ada tiga ular kobra berwarna hitam dan besar yang keluar dari kotak tersebut. Langsung saja, salah seorang dari mereka lari ketakutan, sedangkan yang lainnya justru berani mendekat untuk memegang ular agar tidak membahayakan, dan, tentu saja, si bayi yang ada di dekatnya tetap tidak memperlihatkan respon apa-apa terhadap ular.
Nah, begitu juga dengan kehidupan manusia di dunia ini. Kita semua dihadapkan dengan permasalahan yang sama, yaitu kehidupan duniawi. Akan tetapi respon yang kita berikan terhadap permasalahan tersebut berbeda-beda. Di antara kita, ada yang hidup penuh semangat, sedangkan yang lainnya hidup penuh malas dan putus asa. Di antara kita juga ada yang hidup dengan keluarga yang damai dan tenang, sedangkan di antara kita juga ada yang hidup dengan kondisi keluarga yang berantakan. Di antara kita juga ada yang hidup dengan perasaan bahagia dan ceria, sedangkan yang lain hidup dengan penuh penderitaan dan keluhan. Padahal kita semua berangkat dari kondisi yang sama, yaitu kondisi ketika masih kecil yang penuh semangat, ceria, bahagia, dan tidak ada rasa takut atau pun rasa sedih.
Pertanyaannya yang ingin diajukan di sini adalah “Mengapa untuk permasalahan yang sama, yaitu kehidupan duniawi, kita mengambil respon yang berbeda-beda?” jawabannya dikarenakan oleh kesan yang berbeda dan kesan tersebut dihasilkan dari pola pikir dan kepercayaan yang berbeda mengenai objek tersebut. Untuk lebih jelas, berikut penjelasannya.
Secara alami, sejak lahir sampai berusia tiga tahun, atau mungkin hingga sekitar lima tahun, kemampuan menalar seorang anak belum tumbuh sehingga pikiran bawah sadar (subconscious mind) masih terbuka dan menerima apa saja informasi dan stimulus yang dimasukkan ke dalamnya tanpa ada penyeleksian, mulai dari orang tua dan lingkungan keluarga.6 Dari mereka itulah, pondasi awal terbentuknya karakter sudah terbangun. Pondasi tersebut adalah kepercayaan tertentu dan konsep diri. Jika sejak kecil kedua orang tua selalu bertengkar lalu bercerai, maka seorang anak bisa mengambil kesimpulan sendiri bahwa perkawinan itu penderitaan. Tetapi, jika kedua orang tua selalu menunjukkan rasa saling menghormati dengan bentuk komunikasi yang akrab maka anak akan menyimpulkan ternyata pernikahan itu indah. Semua ini akan berdampak ketika sudah tumbuh dewasa.
Selanjutnya, semua pengalaman hidup yang berasal dari lingkungan kerabat, sekolah, televisi, internet, buku, majalah, dan berbagai sumber lainnya menambah pengetahuan yang akan mengantarkan seseorang memiliki kemampuan yang semakin besar untuk dapat menganalisis dan menalar objek luar. Mulai dari sinilah, peran pikiran sadar (conscious) menjadi semakin dominan. Seiring perjalanan waktu, maka penyaringan terhadap informasi yang masuk melalui pikiran sadar menjadi lebih ketat sehingga tidak sembarang informasi yang masuk melalui panca indera dapat mudah dan langsung diterima oleh pikiran bawah sadar.
Semakin banyak informasi yang diterima dan semakin matang sistem kepercayaan dan pola pikir yang terbentuk, maka semakin jelas tindakan, kebiasan, dan karakter unik dari masing-masing individu. Dengan kata lain, setiap individu akhirnya memiliki sistem kepercayaan (belief system), citra diri (self-image), dan kebiasaan (habit) yang unik. Jika sistem kepercayaannya benar dan selaras, karakternya baik, dan konsep dirinya bagus, maka kehidupannya akan terus baik dan semakin membahagiakan. Sebaliknya, jika sistem kepercayaannya tidak selaras, karakternya tidak baik, dan konsep dirinya buruk, maka kehidupannya akan dipenuhi banyak permasalahan dan penderitaan.
Kita ambil sebuah contoh. Ketika masih kecil, kebanyakan dari anak-anak memiliki konsep diri yang bagus. Mereka ceria, semangat, dan berani. Tidak ada rasa takut dan tidak ada rasa sedih. Mereka selalu merasa bahwa dirinya mampu melakukan banyak hal. Karena itu, mereka mendapatkan banyak hal. Kita bisa melihat saat mereka belajar berjalan dan jatuh, mereka akan bangkit lagi, jatuh lagi, bangkit lagi, sampai akhirnya mereka bisa berjalan seperti kita.
Akan tetapi, ketika mereka telah memasuki sekolah, mereka mengalami banyak perubahan mengenai konsep diri mereka. Di antara mereka mungkin merasa bahwa dirinya bodoh. Akhirnya mereka putus asa. Kepercayaan ini semakin diperkuat lagi setelah mengetahui bahwa nilai yang didapatkannya berada di bawah rata-rata dan orang tua mereka juga mengatakan bahwa mereka memang adalah anak-anak yang bodoh. Tentu saja, dampak negatif dari konsep diri yang buruk ini bisa membuat mereka merasa kurang percaya diri dan sulit untuk berkembang di kelak kemudian hari.
Padahal, jika dikaji lebih lanjut, kita dapat menemukan banyak penjelasan mengapa mereka mendapatkan nilai di bawah rata-rata. Mungkin, proses pembelajaran tidak sesuai dengan tipe anak, atau pengajar yang kurang menarik, atau mungkin kondisi belajar yang kurang mendukung. Dengan kata lain, pada hakikatnya, anak-anak itu pintar tetapi karena kondisi yang memberikan kesan mereka bodoh, maka mereka meyakini dirinya bodoh. Inilah konsep diri yang buruk.
Contoh yang lainnya, mayoritas ketika masih kanak-kanak, mereka tetap ceria walau kondisi ekonomi keluarganya rendah. Namun seiring perjalanan waktu, anak tersebut mungkin sering menonton sinetron yang menayangkan bahwa kondisi orang miskin selalu lemah dan mengalami banyak penderitaan dari orang kaya. Akhirnya, anak ini memegang kepercayaan bahwa orang miskin itu menderita dan tidak berdaya dan orang kaya itu jahat. Selama kepercayaan ini dipegang, maka ketika dewasa, anak ini akan sulit menjadi orang yang kuat secara ekonomi, sebab keinginan untuk menjadi kaya bertentangan dengan keyakinannya yang menyatakan bahwa orang kaya itu jahat. Kepercayaan ini hanya akan melahirkan perilaku yang mudah berkeluh kesah dan menutup diri untuk bekerjasama dengan mereka yang dirasa lebih kaya.
Nah, untuk lebih memahami tentang proses pembentukan karakter tersebut, berikut ini adalah ilustrasi-ilustrasi yang menggambarkan tentang proses tersebut.


1 N.K. Singh dan Mr. A.R. Agwan, Encyclopaedia of the Holy Qur’ân, (New Delhi: balaji Offset, 2000) Edisi I h. 175
2 Rhonda Byrne, The Secret, (Jakarta: PT Gramedia, 2007), h.17
3 Joseph Murphy D.R.S., Rahasia Kekuatan Pikiran Bawah Sadar, (Jakarta, SPEKTRUM, 2002), h. 6.
4 Adi W. Gunawan, Hypnosis – The Art of Subconscious Communication, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005) h. 27-30.
5 Adi W. Gunawan dan Ariesandi Setyono, Manage Your Mind for Success, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006) h. 38
6 Ariesandi Setyono, Hypnoparenting: Menjadi Orangtua Efektif dengan Hipnosis, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 50

GURU PROFESIONAL= BERKARAKTER

Segera setelah kebijakan sertifikasi digulirkan pemerintah, banyak guru (termasuk saya) yang kemudian gamang mengenai arti sesungguhnya dari ‘profesionalisme’. Guru yang mengajar di kelas dari hari ke hari punya dua ujung sebagai perjalanan kariernya. Ujung pertama adalah rutinitas, artinya ia akan jadi orang yang pasif, terjebak rutinitas, cenderung bekerja demi harapkan gaji dan tunjangan di akhir bulan. Ujung kedua adalah ia semakin cinta pada profesi dan terus meningkatkan diri serta merasa hidupnya ‘berkah’ karena mengajar dan menyebarkan ilmu.
Pasti semua dari kita ingin menjadi guru yang menemui ujung kedua seperti yang saya ceritakan di atas. Untuk sampai kesana tidak bisa tidak kita membutuhkan karakter. Sebuah karakter yang memang tidak mudah untuk dipraktekkan serta berhubungan dengan banyak faktor lain. Silahkan mencermati karakter apa saja yang bisa membuat seorang guru menjadi guru profesional;
 1. Rendah hati
Karakter ini membuat seorang guru berpikiran terbuka serta mudah menerima hal-hal baru. Di depan siswa atau sesama guru ia terus terang jika tidak tahu. Maklum ditengah pesatnya pertumbuhan dan akses kepada informasi, semua orang benar-benar mesti belajar kembali dan bersedia menjadi seorang pembelajar. Hal ini membuat ia menjadi mitra belajar yang mengasyikkan bagi siswa dan sesama guru. Karakter rendah hati juga menjadi pembuka jalan bagi masuknya ilmu baru. Di sebuah sekolah jika semua gurunya rendah hati akan terjadi transfer ilmu dan terbentuk komunitas pembelajar, karena semua orang dihargai dari apa kontribusi tenaga dan ilmunya dan bukan dari seberapa seniornya ia di sekolah.
2. Pandai mengelola waktu
Sebagai seorang yang bekerja dengan administrasi serta tugas mengajar yang banyak setiap minggunya, guru dituntut untuk pandai mengelola waktu. Bukan cuma siswa dikelas saja yang punya hak terhadap diri kita, namun juga keluarga terdekat kita di rumah yang memerlukan perhatian. Guru yang pandai mengelola waktu membedakan prioritas dalam bekerja, mana yang mesti dikerjakan sekarang atau yang mesti digarap secara bertahap.
3. Menghargai proses.
Saat mengajar sering kita pulang ke rumah dalam keadaan yang sangat lelah. Sering juga kita dilanda kebosanan sambil berucap dalam hati “seperti inikah rasanya jadi guru”. Sebagai manusia biasa wajar sekali jika perasaan itu datang. Semua perasaan tersebut akan hilang jika sebagai guru kita menghargai proses. Proses yang saya maksud adalah seperti jalannya atau perputaran alam semesta yang kita rasakan. Ada pagi ada siang, ada gelap dan ada terang. Jika suatu saat kita gagal atau belum berhasil dalam mengajar, hargailah usaha yang diri kita sendiri lakukan. Sebab mengingat-ingat kegagalan tanpa memandang atau menghargai usaha diri kita sendiri akan membuat malas di kemudian hari untuk melakukan inovasi dalam mengajar. Ada perasaan khawatir atau takut untuk berubah hanya karena pernah gagal. Jika itu terjadi siswa yang akan jadi korban karena sebagai guru anda akan tampil biasa-biasa saja dan miskin inovasi.
4. Berpikiran terbuka
Informasi dan ilmu pengetahuan berkembang dan bertambah sedemikian pesatnya. Dalam hitungan detik informasi bertambah dengan cepat. Saat ini informasi ada di mana saja, semua tersedia tinggal bagaimana seseorang dengan pikirannya bisa mencerna dan memanfaatkan. Sebagai seorang guru sikap berpikiran terbuka inilah yang paling bermakna saat ini untuk diterapkan. Dengan berpikiran terbuka guru jadi mudah untuk menerima perbedaan dan senang akan perubahan. Di kelas dan sekolah sejak dulu siswa dibagi menjadi murid yang ‘pintar’, ‘bodoh’ dan ‘sedang-sedang saja’. Belum ada pikiran yang terbuka yang mengatakan bahwa setiap anak adalah unik dan bisa menjadi ‘juara’ di bidangnya masing-masing. Saat guru berpikiran terbuka ia akan bisa sekuat tenaga membuat setiap siswa di kelasnya meraih masa depan sesuai potensinya. Dengan pikiran terbuka guru juga jadi mudah untuk menyerap ilmu dari siapa saja tanpa mesti katakan “aah saya sudah tahu” atau “ah saya sudah pernah menerapkan” karena di masa sekarang ini ilmu bisa datang dari siapa saja, ia bisa datang dari buku dan media massa, sesama guru, orang tua siswa bahkan dari siswa kita di kelas.
5. Percaya diri
Bedakan antara rasa percaya diri dan sombong. Dalam mempersiapkan dan merencanakan pengajaran di kelas bisa saja guru mengatakan semua yang akan diajarkannya sudah ada di ‘luar kepala’ hal ini berarti sama saja mengatakan sebagai guru ia anti terhadap kegiatan belajar lagi. Padahal bukan seperti itu guru yang percaya diri. Guru yang percaya diri akan sekuat tenaga mempersiapkan sambil tetap percaya diri jika ada masalah yang timbul saat ia sedang melaksanakan perencanaan pengajarannya. Ia yakin sesulit apapun masalah yang timbul saat ia sedang melaksanakan hasil perencanaan pengajarannya, tetap akan memberikan pengalaman dan masukan bagi karier mengajarnya di masa depan.
Terima kasih sudah membaca artikel ini, adakah 5 hal diatas juga merupakan karakter anda selama ini? ataukah ada hal yang baru yang bisa anda bagi dan tambahkan agar semua pendidik di Indonesia bisa lebih profesional dalam berkarier ? ayo berbagi lewat komentar di bawah ini

Saturday, January 28, 2012

GURU LAGI

PENDAPAT GURU ; SKB Lima Menteri, Era Baru Guru Profesional
Yogya (KR)MEMBICARAKAN sepak terjang profesi guru memang tiada habisnya. Setelah lahirnya sertifikasi guru yang berimbas pada pemberian tunjangan profesi kepada guru yang telah lulus sertifikasi dan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan, kini pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) lima Menteri yang isinya tentang Penataan dan Pemerataan Guru PNS yang diberlakukan tanggal 2 Januari 2012 sampai dengan 31 Desember 2013, sebagai tindak lanjut dari Permendiknas No 39 Tahun 2009 dan No 30 Tahun 2011.
Banyak pihak yang menyanjung dan ada pula yang mencibir. Seberapa besar kontribusi guru yang sudah mendapatkan tunjangan profesi dengan prestasi dan kualitas peserta didik?
Bergesernya paradigma memberikan gambaran, profesi guru adalah sosok cendekia/cerdik pandai yang mempunyai kecerdasan baik intelegensi, emosional dan spiritual. Insan cendekiawan ini juga dapat dilihat dari kompetensi ideal yang harus dimiliki profesi guru, yaitu kompetensi mendidik(pedagogis), kepribadian (intrapersonal), sosial (antarpersonal) dan profesional. Keempat kompetensi tersebut secara integratif harus menyatu dalam diri insan yang disebut guru.
SKB 5 Menteri itu menjadi payung hukum untuk menata dan mendistribusikan (mana yang kelebihan dan mana yang kekurangan) guru PNS. Dengan adanya SKB ini menjadikan era baru bagi profesi guru. Mengapa demikian?
Sesuai UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, isi undang-undang tersebut antara lain menyebutkan, tugas guru melakukan kegiatan mengajar tatap muka minimal 24 jam dan maksimal 40 jam per minggu. Selama ini keluhan yang dialami guru yaitu kekurangan jumlah jam tatap muka, sehingga pemenuhannya melalui kegiatan intrakurikuler (team teaching, remedial and enrichment teaching) dan kegiatan ekstrakurikuler serta tugas tambahan. Selama ini bisa dikatakan pula, guru profesional namun masih gado-gado (karena mengajar bermacam-macam mata pelajaran) padahal hal ini bertentangan dengan sertifikat pendidik yang dimiliki guru.
Hal inilah yang membuat jauh panggang dari api. Artinya adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan, sehingga barangkali ada relevansinya mengapa belum adanya gambaran yang signifikan terhadap kualitas peserta didik baik dari ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Di dalam SKB tersebut, semakin mempertegas dan memperjelas tugas, pokok dan fungsi guru, antara lain guru harus mengajar tatap muka minimal 24 jam per minggu sesuai sertifikat pendidik yang dimilikinya. Hal ini yang menjadikan permasalahan pelik bagi sekolah karena nantinya ada guru yang kelebihan dan ada guru yang kekurangan jam mengajar. Tugas sekolah adalah mendata keadaan tersebut dan melaporkannya ke Dinas Pendidikan setempat, sehingga harapan pemerintah adanya rasio yang seimbang antara guru dengan peserta didik, antara sekolah satu dengan lainnya yang berujung pada terlaksananya standar pelayanan minimal dan manajerial sekolah yang efektif.
Terbitnya SKB tersebut menjadi era baru bagi profesi guru. Era baru yang senantiasa dinamis. Era baru yang membawa profesi guru menjadi guru yang benar-benar profesional. Karena guru telah mengajar sesuai sertifikat pendidik yang dimiliki, berarti pula guru sesuai bidang yang selama ini ditekuni atau digeluti. Seperti pepatah, bisa karena biasa. Guru yang sudah mendarah daging dengan disiplin ilmunya, dirinya akan semakin matang dalam men-transfer of knowledge dan men-transfer of value kepada peserta didiknya. Tinggal bagaimana sebagai guru yang sekaligus pendidik mampu dan mau menjadikan profesi ini begitu mulia yang dapat mengantarkan peserta didik menggapai cita-citanya. Dan yang lebih membanggakan apabila kita sebagai pendidik, kehadiran kita di kelas selalu dinanti dan ditunggu peserta didik. Karena pendidik yang mengetahui dan mengerti apa yang dikehendaki dan dibutuhkan peserta didik yang bermanfaat baginya saat ini dan yang akan datang.
Biarlah berbagai peraturan terbit. Tentu, ini merupakan iktikad baik dari pemerintah agar profesi guru menjadi salah satu profesi pilihan dan idaman yang memiliki regulasi yang tegas yang dapat diukur kinerja dan keprofesiannya. q - s
*)Penulis, Guru Bahasa Indonesia/Wa Ka Urs Kurikulum, SMPN 1 Kalibawang Kulonprogo
Diupload oleh : hans (-) | Kategori: Berita Koran Pendidikan | Tanggal: 20-01-2012 08:05

Sunday, January 22, 2012

LOMBA MAPSI KECAMATAN PAGUYANGAN TAHUN 2012

Pelaksanaan Lomba MAPSI Tingkat Kecamatan Paguyangan telah diaadakan pada hari Sabtu, 21 Januari 2012 bertempat  di SD Negeri Paguyangan 02. Diikuti oleh 50 SD se Kecamatan Paguyangan yang meliputi 4 cabang lomba ( putra dan putri ) : Mapel PAI, Khitabah, Khat/Kaligrfai dan Macapat Islami. Kegiatan berlangsung sejak pukul 07.30 sampai dengan 14.00WIB.



Wednesday, January 18, 2012

ILMUWAN MUSLIM

Marilah kita membaca dan melakukan refleksi atas apa yang telah mereka sumbangkan untuk kejayaan Islam masa silam. Bukan sekedar untuk dibanggakan tetapi untuk kita teladani dan kita jadikan inspirasi berjuang di jalan-Nya Silakan baca biografi tokoh-tokoh ilmu muslim disini dan disini . Semoga bermanfaat.

HUJJATUL ISLAM IMAM GAZALI (2)

KARYA BESAR BELIAU

Karya-Karyanya*
*Nama karya beliau ini diambil secara ringkas dari kitab Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah, karya Dr. Abdurrahman bin Shaleh Ali Mahmud 2/623-625, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/203-204
Beliau seorang yang produktif menulis. Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali. Di antara karyanya yang terkenal ialah:
Pertama, dalam masalah ushuluddin dan aqidah:
  1. Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahirul Qur’an.
  2. Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama.
  3. Al Iqtishad Fil I’tiqad.
  4. Tahafut Al Falasifah. Berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah.
  5. Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah.
Kedua, dalam ilmu ushul, fikih, filsafat, manthiq dan tasawuf, beliau memiliki karya yang sangat banyak. Secara ringkas dapat kita kutip yang terkenal, di antaranya:
(1) Al Mustashfa Min Ilmil Ushul. Merupakan kitab yang sangat terkenal dalam ushul fiqih. Yang sangat populer dari buku ini ialah pengantar manthiq dan pembahasan ilmu kalamnya. Dalam kitab ini Imam Ghazali membenarkan perbuatan ahli kalam yang mencampur adukkan pembahasan ushul fikih dengan pembahasan ilmu kalam dalam pernyataannya, “Para ahli ushul dari kalangan ahli kalam banyak sekali memasukkan pembahasan kalam ke dalamnya (ushul fiqih) lantaran kalam telah menguasainya. Sehingga kecintaannya tersebut telah membuatnya mencampur adukkannya.” Tetapi kemudian beliau berkata, “Setelah kita mengetahui sikap keterlaluan mereka mencampuradukkan permasalahan ini, maka kita memandang perlu menghilangkan dari hal tersebut dalam kumpulan ini. Karena melepaskan dari sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sangatlah sukar……” (Dua perkataan beliau ini dinukil dari penulis Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 17 dan 18).
Lebih jauh pernyataan beliau dalam Mukaddimah manthiqnya, “Mukadimah ini bukan termasuk dari ilmu ushul. Dan juga bukan mukadimah khusus untuknya. Tetapi merupakan mukadimah semua ilmu. Maka siapa pun yang tidak memiliki hal ini, tidak dapat dipercaya pengetahuannya.” (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 19).
Kemudian hal ini dibantah oleh Ibnu Shalah. beliau berkata, “Ini tertolak, karena setiap orang yang akalnya sehat, maka berarti dia itu manthiqi. Lihatlah berapa banyak para imam yang sama sekali tidak mengenal ilmu manthiq!” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Demikianlah, karena para sahabat juga tidak mengenal ilmu manthiq. Padahal pengetahuan serta pemahamannya jauh lebih baik dari para ahli manthiq.
(2) Mahakun Nadzar.
(3) Mi’yarul Ilmi. Kedua kitab ini berbicara tentang mantiq dan telah dicetak.
(4) Ma’ariful Aqliyah. Kitab ini dicetak dengan tahqiq Abdulkarim Ali Utsman.
(5) Misykatul Anwar. Dicetak berulangkali dengan tahqiq Abul Ala Afifi.
(6) Al Maqshad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna. Telah dicetak.
(7) Mizanul Amal. Kitab ini telah diterbitkan dengan tahqiq Sulaiman Dunya.
(8) Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi. Oleh para ulama, kitab ini diperselisihkan keabsahan dan keontetikannya sebagai karya Al Ghazali. Yang menolak penisbatan ini, diantaranya ialah Imam Ibnu Shalah dengan pernyataannya, “Adapun kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, bukanlah karya beliau. Aku telah melihat transkipnya dengan khat Al Qadhi Kamaluddin Muhammad bin Abdillah Asy Syahruzuri yang menunjukkan, bahwa hal itu dipalsukan atas nama Al Ghazali. Beliau sendiri telah menolaknya dengan kitab Tahafut.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329).
Banyak pula ulama yang menetapkan keabsahannya. Di antaranya yaitu Syaikhul Islam, menyatakan, “Adapun mengenai kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, sebagian ulama mendustakan penetapan ini. Akan tetapi para pakar yang mengenalnya dan keadaannya, akan mengetahui bahwa semua ini merupakan perkataannya.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Kitab ini diterbitkan terakhir dengan tahqiq Riyadh Ali Abdillah.
(9) Al Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah.
(10) Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi.
(11) Qanun At Ta’wil.
(12) Fadhaih Al Bathiniyah dan Al Qisthas Al Mustaqim. Kedua kitab ini merupakan bantahan beliau terhadap sekte batiniyah. Keduanya telah terbit.
(13) Iljamul Awam An Ilmil Kalam. Kitab ini telah diterbitkan berulang kali dengan tahqiq Muhammad Al Mu’tashim Billah Al Baghdadi.
(14) Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin, diterbitkan dengan tahqiq Muhammad Bahit.
(15) Ar Risalah Alladuniyah.
(16) Ihya’ Ulumuddin. Kitab yang cukup terkenal dan menjadi salah satu rujukan sebagian kaum muslimin di Indonesia. Para ulama terdahulu telah berkomentar banyak tentang kitab ini, di antaranya:
Abu Bakar Al Thurthusi berkata, “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya’ dengan kedustaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya tidak tahu ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak kedustaan darinya, kemudian beliau campur dengan pemikiran-pemikiran filsafat dan kandungan isi Rasail Ikhwanush Shafa. Mereka adalah kaum yang memandang kenabian merupakan sesuatu yang dapat diusahakan.” (Dinukil Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/334).
Dalam risalahnya kepada Ibnu Mudzaffar, beliau pun menyatakan, “Adapun penjelasan Anda tentang Abu Hamid, maka saya telah melihatnya dan mengajaknya berbicara. Saya mendapatkan beliau seorang yang agung dari kalangan ulama. Memiliki kecerdasan akal dan pemahaman. Beliau telah menekuni ilmu sepanjang umurnya, bahkan hampir seluruh usianya. Dia dapat memahami jalannya para ulama dan masuk ke dalam kancah para pejabat tinggi. Kemudian beliau bertasawuf, menghijrahi ilmu dan ahlinya dan menekuni ilmu yang berkenaan dengan hati dan ahli ibadah serta was-was syaitan. Sehingga beliau rusak dengan pemikiran filsafat dan Al Hallaj (pemikiran wihdatul wujud). Mulai mencela ahli fikih dan ahli kalam. Sungguh dia hampir tergelincir keluar dari agama ini. Ketika menulis Al Ihya’ beliau mulai berbicara tentang ilmu ahwal dan rumus-rumus sufiyah, padahal belum mengenal betul dan tidak memiliki keahlian tentangnya. Sehingga dia berbuat kesalahan fatal dan memenuhi kitabnya dengan hadits-hadits palsu.” Imam Adz Dzahabi mengomentari perkataan ini dengan pernyataannya, “Adapun di dalam kitab Ihya’ terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil dan terdapat kebaikan padanya, seandainya tidak ada adab dan tulisan serta zuhud secara jalannya ahli hikmah dan sufi yang menyimpang.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/339-340).
Imam Subuki dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah (Lihat 6/287-288) telah mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Al Ihya’ dan menemukan 943 hadits yang tidak diketahui sanadnya. Abul Fadhl Abdurrahim Al Iraqi mentakhrij hadits-hadits Al Ihya’ dalam kitabnya, Al Mughni An Asfari Fi Takhrij Ma Fi Al Ihya Minal Akhbar. Kitab ini dicetak bersama kitab Ihya Ulumuddin. Beliau sandarkan setiap hadits kepada sumber rujukannya dan menjelaskan derajat keabsahannya. Didapatkan banyak dari hadits-hadits tersebut yang beliau hukumi dengan lemah dan palsu atau tidak ada asalnya dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka berhati-hatilah para penulis, khathib, pengajar dan para penceramah dalam mengambil hal-hal yang terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin.
(17) Al Munqidz Minad Dhalalah. Tulisan beliau yang banyak menjelaskan sisi biografinya.
(18) Al Wasith.
(19) Al Basith.
(20) Al Wajiz.
(21) Al Khulashah. Keempat kitab ini adalah kitab rujukan fiqih Syafi’iyah yang beliau tulis. Imam As Subki menyebutkan 57 karya beliau dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/224-227.
Aqidah dan Madzhab Beliau
Dalam masalah fikih, beliau seorang yang bermazhab Syafi’i. Nampak dari karyanya Al Wasith, Al Basith dan Al Wajiz. Bahkan kitab beliau Al Wajiz termasuk buku induk dalam mazhab Syafi’i. Mendapat perhatian khusus dari para ulama Syafi’iyah. Imam Adz Dzahabi menjelaskan mazhab fikih beliau dengan pernyataannya, “Syaikh Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz zaman, Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Asy Syafi’i.”
Sedangkan dalam sisi akidah, beliau sudah terkenal dan masyhur sebagai seorang yang bermazhab Asy’ariyah. Banyak membela Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah, para filosof serta kelompok yang menyelisihi mazhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar dalam mazhab tersebut. Oleh karena itu beliau menamakan kitab aqidahnya yang terkenal dengan judul Al Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara pengambilan dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh ulama Asy’ariyah sebelum beliau (pendahulunya). Tidak memberikan sesuatu yang baru dalam mazhab Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru dan cara yang cukup mudah. Keterkenalan Imam Ghazali sebagai tokoh Asy’ariyah juga dibarengi dengan kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah yang sangat penting menyatunya Sufiyah ke dalam Asy’ariyah.
Akan tetapi tasawuf apakah yang diyakini beliau? Memang agak sulit menentukan tasawuf beliau. Karena seringnya beliau membantah sesuatu, kemudian beliau jadikan sebagai aqidahnya. Beliau mengingkari filsafat dalam kitab Tahafut, tetapi beliau sendiri menekuni filsafat dan menyetujuinya.
Ketika berbicara dengan Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang Asy’ari tulen. Ketika berbicara tasawuf, dia menjadi sufi. Menunjukkan seringnya beliau berpindah-pindah dan tidak tetap dengan satu mazhab. Oleh karena itu Ibnu Rusyd mencelanya dengan mengatakan, “Beliau tidak berpegang teguh dengan satu mazhab saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi beliau menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan filosof bersama filsafat.” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 110).
Adapun orang yang menelaah kitab dan karya beliau seperti Misykatul Anwar, Al Ma’arif Aqliyah, Mizanul Amal, Ma’arijul Quds, Raudhatuthalibin, Al Maqshad Al Asna, Jawahirul Qur’an dan Al Madmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, akan mengetahui bahwa tasawuf beliau berbeda dengan tasawuf orang sebelumnya. Syaikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud menjelaskan tasawuf Al Ghazali dengan menyatakan, bahwa kunci mengenal kepribadian Al Ghazali ada dua perkara:
Pertama, pendapat beliau, bahwa setiap orang memiliki tiga aqidah. Yang pertama, ditampakkan di hadapan orang awam dan yang difanatikinya. Kedua, beredar dalam ta’lim dan ceramah. Ketiga, sesuatu yang dii’tiqadi seseorang dalam dirinya. Tidak ada yang mengetahui kecuali teman yang setara pengetahuannya. Bila demikian, Al Ghazali menyembunyikan sisi khusus dan rahasia dalam aqidahnya.
Kedua, mengumpulkan pendapat dan uraian singkat beliau yang selalu mengisyaratkan kerahasian akidahnya. Kemudian membandingkannya dengan pendapat para filosof saat beliau belum cenderung kepada filsafat Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu Sina dan yang lainnya. (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyariyah 2/628).
Beliau (Syeikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud) menyimpulkan hasil penelitian dan pendapat para peneliti pemikiran Al Ghazali, bahwa tasawuf Al Ghazali dilandasi filsafat Isyraqi (Madzhab Isyraqi dalam filsafat ialah mazhab yang menyatukan pemikiran dan ajaran dalam agama-agama kuno, Yunani dan Parsi. Termasuk bagian dari filsafat Yunani dan Neo-Platoisme. Lihat Al Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al Adyan Wal Madzahibi Wal Ahzab Al Mu’ashirah, karya Dr. Mani’ bin Hamad Al Juhani 2/928-929). Sebenarnya inilah yang dikembangkan beliau akibat pengaruh karya-karya Ibnu Sina dan Ikhwanush Shafa. Demikian juga dijelaskan pentahqiq kitab Bughyatul Murtad dalam mukadimahnya. Setelah menyimpulkan bantahan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap beliau dengan mengatakan, “Bantahan Ibnu Taimiyah terhadap Al Ghazali didasarkan kejelasannya mengikuti filsafat dan terpengaruh dengan sekte Bathiniyah dalam menta’wil nash-nash, walaupun beliau membantah habis-habisan mereka, seperti dalam kitab Al Mustadzhiri. Ketika tujuan kitab ini (Bughyatul Murtad, pen) adalah untuk membantah orang yang berusaha menyatukan agama dan filsafat, maka Syaikhul Islam menjelaskan bentuk usaha tersebut pada Al Ghazali. Yang berusaha menafsirkan nash-nash dengan tafsir filsafat Isyraqi yang didasarkan atas ta’wil batin terhadap nash, sesuai dengan pokok-pokok ajaran ahli Isyraq (pengikut filsafat neo-platonisme).” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 111).
Tetapi perlu diketahui, bahwa pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah meninggalkan filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni Shahih Bukhari dan Muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Penulis Jawahirul Qur’an (Al Ghazali, pen) karena banyak meneliti perkataan para filosof dan merujuk kepada mereka, sehingga banyak mencampur pendapatnya dengan perkataan mereka. Pun beliau menolak banyak hal yang bersesuaian dengan mereka. Beliau memastikan, bahwa perkataan filosof tidak memberikan ilmu dan keyakinan. Demikian juga halnya perkataan ahli kalam. Pada akhirnya beliau menyibukkan diri meneliti Shahih Bukhari dan Muslim hingga wafatnya dalam keadaan demikian. Wallahu a’lam.”
***
Sumber: Majalah As Sunnah
Penyusun: Ust. Kholid Syamhudi, Lc.
Dipublikasikan kembali oleh www.muslim.or.id

HUJJATUL ISLAM IMAM GAZALI (1)

SEJARAH SEORANG IMAM
Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.

Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).
Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.
Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).
Polemik Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.
Masa Akhir Kehidupannya
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).
-bersambung insya Allah-
***
Sumber: Majalah As Sunnah
Penyusun: Ust. Kholid Syamhudi, Lc.
Dipublikasikan kembali oleh www.muslim.or.id

Blog Archive

Featured Post

DATA GURU PAI SD KEC. PAGUYANGAN SEMESTER GENAP 2020/2021

  DATA GURU PAI SEKOLAH DASAR KECAMATAN PAGUYANGAN SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2020/2021 PER JANUARI 2021   NO. ...